Makalah Sosiologi Budaya (Penelitian Suku Osing)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Indonesia adalahan negara yang memiliki keragaman budaya dan suku, meskipun banyak sekali keragaman budaya dan suku di indonesia akantetapi tidak membuat rasa nasionalisme mereka luntur dan keragaman tersebut bukanlah menjadi suatu potensi perpecahan tetapi keragaman tersebut menjadi objek pemersatu budaya dan suku.
Indonesia pula terdiri dari banyak sekali pulau pulau yang terbentang luas dari sabang hingga mereuke, di setiap pulau itu sendiri memiliki perbedaan baik dari segi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, maupun iklim yang ada di berbagai pulau tersebut. Perbedaan tersebut memicu timbulnya keberagaman budaya dan suku di indonesia. Karena tidak bisa di pungkiri bahwa segala aspek yang ada di muka bumi ini akan mempengaruhi pola pikir dan karakter dari suatu suku atau budaya tertentu.
Diantara banyaknya budaya dan suku di indonesia ada beberapa budaya yang unik bahkan sangat berbeda dengan yang lainnya, yakni Suku Osing atau budaya Suku Osing. Suku Osing ini jarang sekali di kenal di beberapa kalangan mahasiswa dikarenakan bukan suku besar layaknya suku Sunda maupun suku suku yang terkenal seperti yang lainnya.
Maka oleh sebab itu pemakalah memilih pembahasan tentang “Suku Osing” semoga makalah ini bermanfaat dan bisa menambah wawasan khususnya bagi pemakalah uumnya bagi mahasiswa lainnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah suku Osing?
2.      Bagaimana saja unsur budaya suku Osing?
3.      Analisis budaya suku Osing melalui sudut pandanga islam?
C.     Tujuan

1.      Memahami sejarah suku Osing.
2.      Mengetahui unsur budaya suku Osing.
3.      Memahami budaya suku Osing melalui sudut pandanga islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah suku Osing

Sejarah Suku Using diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478M Perang saudara dan pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam terutama Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit.Setelah kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger), Blambangan(Suku Using) dan Bali. Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak kehidupan Suku Using yang masih menyiratkan budaya Majapahit[1].
Kerajaan Blambangan, yang didirikan oleh masyarakat osing, adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu. Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah menancapkan kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan kebudayaan masyarakat Using mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Suku Jawa.
Suku Using mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini sangat terluhat dari kesenian tradisional Gandrung yang mempunyai kemiripan ,dan mempunyai sejarah sendiri-sendiri. Kemiripan lain tercermin dari arsitektur bangunan antar Suku Using dan Suku Bali yang mempunyai banyak persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap bangunan. Osing juga merupakan salah satu komunitas etnis yang berada di daerah Banyuwangi dan sekitarnya. Dalam lingkup lebih luas. Dalam peta wilayah kebudayaan Jawa, Osing merupakan bagian wilayah Sabrang Wetan, yang berkembang di daerah ujung timur pulau Jawa. Keberadaan komunitas Osing berkaitan erat dengan sejarah Blambangan (Scholte, 1927).
Menurut Leckerkerker (1923:1031), orangorang Osing adalah masyarakat Blambangan yang tersisa. Keturunan kerajaan Hindu Blambangan ini berbeda dari masyarakat lainnya (Jawa, Madura dan Bali), bila dilihat dari adat-istiadat, budaya maupun bahasanya (Stoppelaar, 1927). sebagai kelompok budaya yang keberadaannya tidak ingin dicampuri budaya lain. Penilaian masyarakat luar terhadap orang Osing menunjukkan bahwa orang Osing dengan budayanya belum banyak dikenal dan selalu mengaitkan orang Osing dengan pengetahuan ilmu gaib yang sangat kuat Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771M. Sejarah Perang Bayu ini jarang di ekspos oleh media sehingga sejarah ini seperti tenggelam.
Dalam perkembangan berikutnya, setelah para petinggi Majapahit berhasil hijrah ke Bali dan membangun kerajaan di sana, Blambangan, secara politik dan kultural, menjadi bagian dari Bali atau, seperti yang diistilahkan oleh beberapa sejarawan, “di bawah perlindungan Bali”. Tetapi, pada tahun 1639, kerajaan Mataram di Jawa Tengah juga ingin menaklukkan Blambangan yang meskipun mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Bali menelan banyak korban jiwa; rakyat Blambangan tidak sedikit yang terbunuh dan dibuang (G.D.E. Haal, seperti yang dikutip Anderson, 1982; 75).
Blambangan tampak relatif kurang memperlihatkan kekuatannya, di masa penjajahan Belanda, ia justru menampilkan kegigihannya melawan dominasi VOC. Perang demi perang terjadi antara rakyat Blambangan melawan kolonial Belanda. Hingga akhirnya memuncak pada perang besar pada tahun 1771-1772 di bawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati yang dikenal dengan perang Puputan Bayu. Perang ini telah berhasil memporak-porandakan rakyat Blambangan dan hanya menyisakan sekitar 8.000 orang (Ali, 1993:20). Meski demikian, tampaknya rakyat Blambangan tetap pantang menyerah. Perang-perang perlawanan, meski lebih kecil, terus terjadi sampai berpuluh tahun kemudian (1810) yang dipimpin oleh pasukan Bayu yang tersisa, yaitu orang-orang yang oleh Belanda dijuluki sebagai ‘orang-orang Bayu yang liar’ (Lekkerker, 1926:401-402; Ali, 1997:9). Setelah dapat menghancurkan benteng Bayu, Belanda memusatkan pemerintahannya di Banyuwangi dan mengangkat Mas Alit sebagai bupati pertama Banyuwangi.
Blambangan memang tidak pernah lepas dari pendudukan dan penjajahan pihak luar, dan pada tahun 1765 tidak kurang dari 60.000 pejuang Blambangan terbunuh atau hilang untuk mempertahankan wilayahnya. Seorang Tokoh peneliti Anderson (1982:75-76) melukiskan bahwa betapa kekejaman Belanda tak bertara sewaktu menguasai Blambangan terutama dalam tahun 1767-1781. Dengan merujuk catatan Bosch yang ditulis dari Bondowoso, Anderson mengatakan: “daerah inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang suatu ketika pernah berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali”.
Pendudukan dan penaklukan yang bertubi-tubi itu ternyata justru membuat rakyat Blambangan semakin patriotik dan mempunyai semangat resistensi yang sangat kuat. Cortesao, seperti yang dikutip oleh Herusantosa (1987:13), dengan merujuk pada Tome Pires, menyebut “rakyat Blambangan sebagai rakyat yang mempunyai sifat “warlike”, suka berperang dan selalu siap tempur, selalu ingin dan berusaha membebaskan wilayahnya dari kekuasaan pihak lain”. Scholte (1927:146) menyatakan:
“Sejarah Blambangan sangat menyedihkan. Suku bangsa Blambangan terus berkurang karena terbunuh oleh kekuatan-kekuatan yang berturut-turut melanda daerah tersebut, seperti kekuatan Mataram, Bali, Bugis dan Makassar, para perampok Cina, dan akhirnya VOC. Tetapi semangat rakyat Blambangan tidak pernah sama sekali padam, dan keturunannya yang ada sekarang merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan kepribadian serta berkembang dengan pesat, berpegang teguh pada adat-istiadat, tetapi juga mudah menerima peradaban baru”. Rakyat Blambangan, seperti yang disebut-sebut dalam berbagai sumber di atas, itulah yang selama ini dinyatakan sebagai cikal-bakal wong Using atau sisa-sisa wong blambangan.

B.     Unsur-unsur Budaya suku Osing

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia.Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.[2]
Didalam budaya itu sendiri terdapat 7 unsur yang membentuk kebudayaan, diantaranya bahasa, sistem teknologi atau peralatan hidup, kesenian, mata pencarian hidup, sistem religi, sistem organisasi kemasyarakatan. Dibawaha ini 7 unsur kebudayaan dari suku Osing.

a)      Bahasa
Bahasa asli suku Osing merupakan turunan langsung dari bahasa Jawa kuno, namun dialek bahasa Osing berbeda dengan bahasa Jawa. Bahasa Osing mengenal sisem ajaran yang khas yaitu kata-kata yang didahului dengan konsonan (B, D, G) serta di beri sisipan (Y), contohnya : abang menjadi abyang, abah menjadi abyah.[3]
b)      Sistem Pengetahuan
Pengetahuan tentang alam sekitar (dongeng, legenda mitos), pengetahuan tentang flora, makanan khas, obat-obatan.

Perlengkapan berlindung :
·         Jenis rumah dan bentuk rumah : tikel balung, baresan, serocokan.
·         Bagian dan fungsi ruangan rumah : amperan, bale,/jerungan, pawon.

Perlengkapan alat mata pencaharian : teter, singkal, patuk sangkan, boding, atau parang, kilung.
Alat perlengkapan rumah tangga.

·         Alat perlengkapan dalam ritual keagamaan.
·         Alat transportasi meliputi mobil pick up yang digunakan untuk mengangkut barang-barang dan juga orang.

Senjata : pedang, keris, cundrik, tolop, tolop sengkop.

c)      Kesenian
·         Angklung Caruk
Angklung adalah seni khas Banyuwangi. Para pemainnya terdiri dari 12 sampai 14 orang. Instrumen musik terbuat dari bamboo dan memiliki empat jenis pertunjukan yaitu, angklung caruk, angklung tetak, angklung paglak, dan angklung Blambangan. Angklung Caruk Kata “caruk” berasal dari kata asli Banyuwangi yang berarti “pertemuan”. Dua kelompok bertemu dan bersaing untuk bermain angklung bersama yang disebut angklung caruk. Biasanya ada tiga kelompok penonton. Satu kelompok mendukung satu kelompok angklung dan kelompok penonton lainnya mendukung kelompok angklung kedua. Kelompok ketiga adalah penonton netral.[4]
·         Kebo keboan
Dan kesenian asli banyuwangi lainnya adalah ritual kebo keboan yang juga merupakan tradisi khas suku osing. Ritual ini dilakukan untuk memohon kepada tuhan agar panen mereka subur dan dijauhi oleh mala petaka. Penggunaan lambing kerbau dipakai karena kerbau merupakan mitra kerja para petani yang setia menemani disawah.Sementara kerbau yang diperankan oleh manusia kian melambangkan hubungan khusus antara kerbau dan para petani. Ritual kebo keboan dibagi dalam beberapa tahapan yakni tujuh hari sebelum pelaksanaan sang pawang melakukan meditasi di beberapa tempat yang dianggap keramat.
·         Barong Kemiren
Kesenian banyuwangi berikutnya adalah barong kemiren. Selain tarian bentuk kesenian ini juga menggunakan media barong. Kesenian ini diyakini suku osing sangat sacral sehingga ada perlakuan khusus karena barong kemiren berhubungan dengan buyut cilik yang diyakini oleh penduduk setempat sebagai cikal bakal desa.Karena pada saat saat tertentu barong diupacarai, diberi sesaji dan dirawat dengan hati hati. sebelum memulai pementasan, ritual dilakukan terlebih dahulu oleh sang spiritual bersama seseorang yang memiliki hajatan atau syukuran. Puncak kesenian yang dimulai dari malam pukul 9 ini berakhir pukul 6 pagi setelah salah satu lakon mulai kesurupan.
·         Tari Janger
Adalah tari janger, meski bukan murni berasal dari banyuwangi. Namun tarian ini kerap masuk sebagai tradisi yang sering dipentaskan masyarakat banyuwangi. Janger adalah tarian pergaulan muda mudi bali. Tarian ini dibawakn oleh 10 penari yang berpasangan, yaitu kelompok putri yang biasa disebut janger dan putra yang disebut kecak.Janger sendiri diadaptasikan dari aktivitas para petani yang menghibur diri karena lelah bekerja.

d)      Mata pencaharian Hidup
Macam-macam mata pencaharian masyarakat suku Osing yaitu dengan keadaan topografi daerah Banyuwangi terutama desa Kemiren yang cukup tinggi maka macam-macam mata pencaharian di masyarakat Kemiren adalah Pegawai Negeri, ABRI, Guru, Swasta, Pedagang, Petani, Peternak, Pertukangan, Buruh Tani, Pensiunan, Nelayan, Pemulung, Buruh Biasa, dan Buruh Jasa.[5]
Macam-macam jenis hasil mata pencahariannya yaitu hasil pertanian yang terdiri dari atas padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kentang, tomat, bawang, kacang panjang, terong, timun, dan lain-lain. Selain itu juga terdapat hasil perkebunan yang terdiri atas kelapa, kopi, cengkeh, randu, mangga, durian, pisang, rambutan, pepaya, apokat, jeruk, dan blimbing. Dan ada terdapat juga hasil perindustrian yang terdiri atas tenunan, atau plismet, ukir-ukiran, dan kerajinan barang lainnya.
Dalam bermata pencaharian masyarakat suku Osing terdapat teknik-teknik dalam bermata pencaharian yaitu cara kerja yang dilakukan masyarakat suku Osing yaitu seperti dalam teknik pertanian yaitu membajak, dan pembasmian hama dan teknik dalam home industri yaitu menenun, dan mengukir.

e)      Sistem religi
Pada awal terbentuknya masyarakat Osing, kepercayaan pertama suku Osing adalah ajaran Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Seiring dengan berkembangnya kerajaan Islam di Pantura menyebabkan agama Islam menyebar dengan cepat dikalangan suku Osing, sehingga pada saat ini agama masyarakat Osing sebagian besar memeluk agama Islam. Selain agama Islam, masyarakat suku Osing juga masih memegang kepercayaan lain seperti Saptadharma yaitu kepercayaan yang kiblat sembayangnya berada di timur seperti orang Cina, Pamu (Purwo Ayu Mandi Utomo) yaitu kepercayaan yang masih bernafaskan Islam. Sistem religi yang ada di masyarakat Osing ada yang mengandung unsur Animisme, Dinamisme, dan Monotheisme.
f)       Sistem Organisasi Masyarakat atau Sosial
Pola perkawinan. Masyarakat suku Osing di Banyuwangi mempunyai tradisi perkawinan yang terpengaruh gaya Jawa, Madura, Bali, bahkan pengaruh dari suku lain di luar Jawa dalam hal gaun pengantinnya. Di lingkungan masyarakat suku Osing Banyuwangi berlaku adat perkawinan dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut : (1) tahap perkenalan; (2) tahap meminang; (3) tahap peresmian perkawinan. Selain dari tahap-tahap tersebut, masyarakat suku Osing Banyuwangi juga mengenal adat perkawinan yang cukup menarik, yaitu Adu Tumper dan Perang Bangkat.
Sistem organisassi sosial. Suku Osing berbeda dengan suku Bali dalam hal stratifikasi sosial. Suku Osing tidak mengenal kasta seperti halnya suku Bali. Pola kekerabatan di masyarakat suku Osing adalah bilateral yang lebih mengararah pada patrilineal. Sistem lembaga masyarakat suku Osing antara lain kepala desa, sekretaris desa, LMD, kaur pemerintahan, kaur kesra, kaur pembangunan, dan kaur keuangan.

C.     Analisis budaya melalui sudut pandanga Islam

Didalam kebudayaan suku Osing sangat kental sekali dengan ritual ritual mistis dan juga pemujaan atau penghormatan pada leluhur. Sebenarnya islam sangat menerima atas segala perbedaan yang ada, bahkan didalam al-Quran dijelaskan bahwa:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْناكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثى وَجَعَلْناكُمْ شُعُوباً وَقَبائِلَ لِتَعارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. al-Hujurat: 13)
Adanya kebudayaan dan suku suku yang berbeda sangat termasuk keadalam ayat yang di tuliskan diatas. Maksud ayat tersebut dijelasakan bahwa perbedaan yang tercipta harus di jadikan pemersatu dengan yang lainnya. Sebab jikalau suatu suku dan budaya yang berbeda tidak mau saling menerima satu samalain atau saling memahami satu sama lain, yang terjadi hanyalah perpecahan dan disintergrasi bangsa. Maka oleh sebab itu perlunya persatuan dan kesatuan sangatlah penting.
Dijelaskan bahwasannya budaya suku Osing ini sungguh sangat kental dengan hal mistis, maka pandangan islam tentang hal tersebut sangatlah bijaksana dan tegas. Bahwasannya di jelaskan dalam suatu ayat yakni:
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian; karena itu janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui” (Al-Baqarah : 22).
Kita bisa ambil perlajaran dari ayat tersebut, maka hanya Allah SWT lah yang memiliki dan menguasai seluruh alam semesta ini. Ketika manusia melakukan ritual yang tidak ada perintah dan kaitannya dengan Allah SWT maka bisa di artikah bahwasannya kita telah mengadakan atau menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah. Allah SWT sangat membenci perilaku jahilliah seperti ini dan sangat tidak menyukai akan hal tersebut.
Intinya bilamana dalam suatu adat tradisi yang tidak ada kaitannya dengan makna makna ketauhidan maka Islam sangat berlapang dada akan menerima tradisi tersebut. Akantetapi jikalau suatu adat tradisi tersebut memalingkan atau membutakan suatu konsep dalam Ketauhidan maupun hilangnya rasa keImana, maka hal tersebut sangat dilarang sekali dan kita selaku muslim harus bisa menjahui dari segal perbuatan yang menyekutukan Allah SWT.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Sejarah Suku Using diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478M Perang saudara dan pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam terutama Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit.Setelah kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger), Blambangan(Suku Using) dan Bali. Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak kehidupan Suku Using yang masih menyiratkan budaya Majapahit.
Didalam budaya itu sendiri terdapat 7 unsur yang membentuk kebudayaan, diantaranya bahasa, sistem teknologi atau peralatan hidup, kesenian, mata pencarian hidup, sistem religi, sistem organisasi kemasyarakatan.
Intinya pandangan islam yakni dalam suatu adat tradisi yang tidak ada kaitannya dengan makna makna ketauhidan, maka Islam sangat berlapang dada akan menerima tradisi tersebut. Akantetapi jikalau suatu adat tradisi tersebut memalingkan atau membutakan suatu konsep dalam Ketauhidan maupun hilangnya rasa keImana, maka hal tersebut sangat dilarang sekali dan kita selaku muslim harus bisa menjahui dari segal perbuatan yang menyekutukan Allah SWT

B.     Saran
Pemakalah merasa bahwa masihbanyak kekurangan dan kesalahan dalam pembuatan makalah ini, maka oleh sebab itu pemakalah memohon maaf atas segala kekurangan yang ada didalam makalah ini. Semoga makalah ini bisa menjadi acuan agar lebih baik kedepannya.





DAFTAR PUSTAKA

https://4youfreee.blogspot.co.id/2012/06/suku-osing.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
http://ragambudayanusantara.blogspot.co.id/2008/09/suku-osing.html
https://keseniankhasbanyuwangiblog.wordpress.com/
http://ragambudayanusantara.blogspot.co.id/2008/09/suku-osing.html




[1] https://4youfreee.blogspot.co.id/2012/06/suku-osing.html
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
[3] http://ragambudayanusantara.blogspot.co.id/2008/09/suku-osing.html
[4] https://keseniankhasbanyuwangiblog.wordpress.com/
[5] http://ragambudayanusantara.blogspot.co.id/2008/09/suku-osing.html

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Budaya Organisasi

Makalah Industri, Masyarakat, dan Politik