Makalah Kerukunan Hidup Breagama (Tafsir Sosial)

POWER POINT jika di perlukan, Download Gratis klik disini (https://drive.google.com/open?id=1UwPttBeyliHCmfTDlZGfhV5cxtJCnBVk)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Manusia adalah mahluk social, diamana setiap
aktivitas yang di lakukan selalu berujung kepada interaksi social dan akan
terjadi pertukanran baik itu ide, gagasan, maupun tujuan yang ingin di peroleh
untuk memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri. Terjadinya interaksi tidak akan
pernah luput dari dasar dasar pemikiran maupun sifat manusia itu yang berbeda
beda baik itu yang dibentuk oleh lingkungan sekitarnya maupun dari faham agama
yang dia anut.
Agama sangat berperan penting terhadap kehidupan
manusia yang dimana bertujuan untuk membentuk karakter dan mencetak akhlak
dengan landasan nilai nilai ketuhanan yang ada didalam agama itu sendiri.
Pentingnya membangun akhlak sangat berpengaruh bagi manusia terutama dalam hal
social yang akan memberi gambaran terhadap pola interaksi yang dibangun dalam
diri manusia itu sendiri.
Manusia
mempunyai begitu banyak kemajemukan baik itu pola pikir atau ideology,
kebudayaan, serta yang paling penting yaitu agama. Maka manusia dituntut untuk
bias hidup bersama, saling berdampingan satu samalain dan menghilangkan sejenak
perbedaan yang dibangun dan di dasari oleh manusia itu sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut, perlu di gali dan
diteliti lebih dalam lagi oleh penulis agar lebih memahami tentang KERUKUNAN
HIDUP BERAGAMA.
B. Rumusan
masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan Kerukunan hidup beragama?
2. Bagaimana
pandangan Al-Quran tentang Kerukunan hidup beragama?
3. Bagaimana
pandangan sosiologi terhadap Kerukunan hidup beragama?
C. Tujuan
1. Untuk
memahi tentang kerukunan hidup beragama.
2. Untuk
mengetahui pandangan Al-Quran tentang Kerukunan hidup beragama.
3. Untuk
mengetahui pandangan terhadap Kerukunan hidup beragama
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kerukunan Hidup Beragama
Secara Etimologi istilah ‘’kerukunan’’ berasal
dari bahsa arab ‘’ruknun’’ yang berarti: ‘’tiang,dasar,atau sila’’. Jamak dari
‘’ruknun’’ adalah ‘’arkan’’ (Louis ma’luf, t. th.: 287), mengartikan dengan:
‘’suatu bangunan sederhana yang terdiri atas beberapa unsure’’. Dari sini dapat
diambil suatu pengertian, bahwa kerukunan merupakan kesatuan yang terdiri atas
berbagai unsure yang berlainan,dan setiap unsure tersebut saling menguatkan.
Kesatuan tidak dapat terwujud jika diantara unsure tersebut adayang tidak
berfungsi. Pengertian ini senada dengan pemaknaan dalam ilmu fikih, dimana
rukun diartikan sebagai bagian yang tak terpisahkan antara yang satu dengan
yang lainnya. Rukun dalam satu ibadah
berarti pokok atau dasar satu bagian ibadah yang kalauditinggalkan ibadah
tersebut menjaditidak sah ( Syamsuri Siddik, 1983: 71).[1]
Sedangkan kata agama dalam bahasa Indonesia berati
sama dengan “din” dalam bahasa arab, atau dalam bahasa inggris “religion”.
Sedangkan kata “din” menyandang arti antara lain menguasai, memudahkan, patuh,
utang balasan atau kebiasaan. (Ensiklopedi
islam, jilid I, 1994)[2]
Agama berasal dari bahasa Sangsekerta, yang
berasal dari akar kata gam artinya pergi. Kemudian akar kata gam tersebut
mendapat awalan a dan akhiran a, maka terbentuklah kata agama artinya jalan.
Maksudnya, jalan untuk mencapai kebahagiaan. Di samping itu, ada pendapat yang
menyatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang akar katanya
adalah a dan gama. A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, agama artinya
tidak kacau atau teratur. Maksudnya, agama adalah peraturan yang dapat
membebaskan manusia dari kekacauan yang dihadapi dalam hidupnya, bahkan
menjelang matinya.[3]
Sedangkan secara terminologi, agama dan religi
ialah suatu tata kepercayaan atas adanya yang Agung di luar manusia, dan suatu
tata penyembahan kepada yang Agung tersebut, serta suatu tata kaidah yang
mengatur hubungan manusia dengan yang Agung, hubungan manusia dengan manusia
dan hubungan manusia dengan alam yang lain, sesuai dengan tata kepercayaan dan
tata penyembahan tersebu
Agama dalam arti sempit ialah
seperangkat kepercayaan, dogma, peraturan etika, praktek penyembahan, amal
ibadah, terhadap tuhan atau dewa-dewa tertentu. Dalam arti
luas, agama adalah suatu kepercayaan atau seperangkat nilai yang
menimbulkan ketaatan pada seseorang atau kelompok tertentu kepada
sesuatu yang mereka kagumi, cita-citakan dan harga[4]
Seperti ditulis oleh Anshari bahwa walaupun Agama,
din, religion, masing-masing mempunyai arti etimologi sendiri sendiri,
mempunyai riwayat dan sejarahnya sendiri-sendiri, namun dalam pengertian teknis
terminologis ketiga pengertian tersebut mempunyai makna yang sama, yaitu:
a. Agama,
din, religion, adalah satu system credo(tata
keimanan atau tata keyakinan) atas adanya Yang Maha Mutlak diluar diri manusia;
b. Agama
juga adalah satu system ritus(tata
peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya Maha Mutlak tersebut;
c. Disamping
merupakan satu systema credo dan satu
sistema ritus, agama juga adalah satu
system norma (tata kaidah atau tata aturan)
yang mengatur hubungan manusia sesame manusia dan hubungan manusia
dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata
peribadatan termaktub diatas (Anshari, 1992).
Sebagimana umumnya bangsa Timur, indonesia
adalah bangsa yang cinta damai, toleran dan tidak menyukai kekerasan. Toleransi
bangsa Indonesia akan tampak sangat jelas jika seseorang melihat beragamnya
agama yang ada di negeri ini. Di sini bertemu agama-agama besar dunia, dan
hidup berdampingan secara damai. Kendati agama-agama tersebut datang dari luar,
itu tidak berarti bahwa bangsa Indonesia tidak memliki agama asli.[5]
Jadi, kerukunan hidup beragama dapat dikatakan
sebagai suatu kondisi social dimana semua golongan agama bisa hidup
berdampingan bersama-sama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk
melaksanakan kewajiban agamanya.
Kerukunan hidup beragama juga dapat diartikan
dengan toleransi antar umat beragama. Dalam toleransi masyarakat harus menerima
perbedaan antar umat beragama. Selain itu masyarakat juga harus saling
menghormati satu sama lainnya misalnya dalam hal beribadah, tidak mengganggu
antar pemeluk agama yang satu dengan yang lain.
B. Pandangan
Al-Quran tentang Kerkunan Bidup Beragama
Islam adalah salasatu agama yang menjungjung
tinggi untuk bias hidup rukun beragama, seperti halnya pada umat-umat islam
terdahulu yang bias berdakwa dan menyebar luaskan ajaran di seluruh penjuru
dunia hingga sampai ke Indonesia yang diman masyarakat Indonesia menerima
dengan baik.
Landasan hidup rukun beragama dalam islam telah
di perintahkan oleh Allah SWT yang menfirmankan kepada nabi Muhammad SAW,
tertera dalam Al-Quran dalam beberapa surah, yaitu:
a) Surat Al-An’am, Ayat 108
Artinya: Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan
setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.
Tafsir jalalayn :
(Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka puja) yaitu
berhala-berhala (selain Allah) yaitu berhala-berhala yang mereka sembah (karena
mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas) penuh dengan perasaan
permusuhan dan kelaliman (tanpa pengetahuan) karena mereka tidak mengerti
tentang Allah (Demikianlah) sebagaimana yang telah Kami jadikan sebagai
perhiasan pada diri mereka yaitu amal perbuatan mereka (Kami jadikan setiap
umat menganggap baik pekerjaan mereka) berupa pekerjaan yang baik dan pekerjaan
yang buruk yang biasa mereka lakukan. (Kemudian kepada Tuhanlah mereka kembali)
di akhirat kelak (lalu Dia memberikan kepada mereka apa yang dahulu mereka
lakukan) kemudian Dia memberikan balasannya kepada mereka[6]
b) Surat
Al-Muzzammil, ayat 10
Artinya:
Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan
dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.
Tafsir
jalalayn: (Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan) bersabarlah kamu
di dalam menghadapi gangguan orang-orang kafir Mekah (dan jauhilah mereka
dengan cara yang baik) tanpa keluh-kesah; ayat ini diturunkan sebelum ada
perintah memerangi mereka.[7]
c) Surat
Al-‘Ankabut, ayat 46
Artinya:
Dan
janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling
baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah:
"Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan
yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya
kepada-Nya berserah diri".
Tafsir jalalayn:
(Dan janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara) dengan
perdebatan yang (paling baik) seperti menyeru mereka kepada Allah dengan
mengemukakan ayat-ayat-Nya dan mengingatkan mereka pada bukti-bukti-Nya
(kecuali dengan orang-orang yang lalim di antara mereka) misalnya mereka
memerangi kalian dan membangkang tidak mau membayar jizyah, maka debatlah
mereka dengan pedang hingga mereka masuk Islam atau tetap pada agamanya dengan
membayar jizyah (dan katakanlah) kepada orang-orang ahli kitab yang berikrar
untuk membayar jizyah, yaitu bilamana mereka menceritakan kepada kalian tentang
sesuatu hal yang terdapat di dalam kitab-kitab mereka: ("Kami telah
beriman kepada kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada
kalian) janganlah kalian mempercayai mereka dan jangan pula kalian mendustakannya
dalam hal ini. (Tuhan kami dan Tuhan kalian adalah satu; dan kami hanya
kepada-Nya berserah diri.") Yakni, hanya kepada-Nya kami taat.[8]
d) Surat
An-Nahl, ayat 125
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.
Tafsir jalalayn: (Serulah)
manusia, hai Muhammad (kepada jalan Rabbmu) yakni agama-Nya (dengan hikmah)
dengan Alquran (dan pelajaran yang baik) pelajaran yang baik atau nasihat yang
lembut (dan bantahlah mereka dengan cara) bantahan (yang baik) seperti menyeru
mereka untuk menyembah Allah dengan menampilkan kepada mereka tanda-tanda
kebesaran-Nya atau dengan hujah-hujah yang jelas. (Sesungguhnya Rabbmu Dialah
Yang lebih mengetahui) Maha Mengetahui (tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk)
maka Dia membalas mereka; ayat ini diturunkan sebelum diperintahkan untuk
memerangi orang-orang kafir. Dan diturunkan ketika Hamzah gugur dalam keadaan
tercincang; ketika Nabi saw. melihat keadaan jenazahnya, lalu beliau saw.
bersumpah melalui sabdanya, "Sungguh aku bersumpah akan membalas tujuh
puluh orang dari mereka sebagai penggantimu."[9]
e) Surat
Al-Anfal, ayat 61
Artinya: Dan jika mereka condong kepada
perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Tafsir jalalayn: (Dan
jika mereka condong) cenderung (kepada perdamaian) boleh dibaca lissilmi dan
boleh pula dibaca lissalmi, artinya perdamaian (maka condonglah kepadanya)
adakanlah perjanjian dengan mereka untuk itu. Akan tetapi menurut Ibnu Abbas
r.a. bahwa ayat ini dimansukh hukumnya oleh ayat perintah untuk berperang.
Mujahid mengatakan, bahwa hukum yang terkandung di dalam ayat ini khusus hanya
menyangkut ahli kitab sebab ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang
Yahudi Bani Quraizhah (dan bertawakallah kepada Allah) percayalah kepada-Nya.
(Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar) perkataan (lagi Maha Mengetahui)
perbuatan.[10]
f) Surat Al-Ma’idah, ayat 8
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Tafsir jalalayn: (Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu selalu berdiri karena Allah)
menegakkan kebenaran-kebenaran-Nya (menjadi saksi dengan adil) (dan janganlah
kamu terdorong oleh kebencian kepada sesuatu kaum) yakni kepada orang-orang
kafir (untuk berlaku tidak adil) hingga kamu menganiaya mereka karena
permusuhan mereka itu. (Berlaku adillah kamu) baik terhadap lawan maupun
terhadap kawan (karena hal itu) artinya keadilan itu (lebih dekat kepada
ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan) sehingga kamu akan menerima pembalasan daripadanya.[11]
g) Surat Al-Kafirun
Artinya: "Hai orang-orang kafir, Aku tidak
akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku
sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu
tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu,
dan untukkulah, agamaku." (QS. Al-Kaafiruun : 1-6)
Tafsir jalalayn: 1.Katakanlah, "Hai
orang-orang kafir!. 2.(Aku tidak akan menyembah) maksudnya sekarang aku tidak
akan menyembah (apa yang kalian sembah) yakni berhala-berhala yang kalian
sembah itu. 3.(Dan kalian bukan penyembah) dalam waktu sekarang (Tuhan yang aku
sembah) yaitu Allah SWT Semata. 4.(Dan aku tidak mau menyembah) di masa
mendatang (apa yang kalian sembah). 5.(Dan kalian tidak mau pula menyembah) di
masa mendatang (Tuhan yang aku sembah) Allah swt. telah mengetahui melalui
ilmu-Nya, bahwasanya mereka di masa mendatang pun tidak akan mau beriman.
Disebutkannya lafal Maa dengan maksud Allah adalah hanya meninjau dari segi
Muqabalahnya. Dengan kata lain, bahwa Maa yang pertama tidaklah sama dengan Maa
yang kedua. 6.(Untuk kalianlah agama kalian) yaitu agama kemusyrikan (dan
untukkulah agamaku") yakni agama Islam. Ayat ini diturunkan sebelum Nabi
saw. diperintahkan untuk memerangi mereka. Ya Idhafah yang terdapat pada lafal
ini tidak disebutkan oleh ahli qiraat sab'ah, baik dalam keadaan Waqaf atau pun
Washal. Akan tetapi Imam Ya'qub menyebutkannya dalam kedua kondisi tersebut.[12]
Dan begitulah beberapa ayat Al-Quran yang
menjelaskan tentang kerukunan hidup beragama, baik itu dalam aspek kehidupan
dunia maupun dalam aspek duniawi atau dalam hal keduniaan.
C. Pandangan
sosiologi tentang kerukunan hidup beragama
Ilmu sosiologi tidak membahas secara gambling
tetang kerukunan hidup beragama, tetapi dalam sosiologi terdapat beberapa acuan
teori yang bias menjelaskan tetang kerukunan hidup beragama. Dikarenakan agama
ada dalam sebuah masyarakat maka masyarakat itu sendirilah yang sangat berperan
penting untuk mewujudkan kehidupan rukun antar umat beragama. Ada beberapa
teori yang bias menjelaskan bagaiman peran dari masyarakat untuk bias
mewujudkan kehidupan rukun dalam beragama, yaitu:
a) Teori
Fungsionalisme Struktural
Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu
sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan
dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yg
terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain.
Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional
terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak
akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.[13]
Bila dihubungkan dengan kerukunan hidup beragama
maka yang menjadi focus utama adalah agama itu sendiri, jika agama itu di
gunakan secara fungsinya maka nilai nilai yang ada didalam agama, secara
otomatis membentuk sebuah kerukunann antar umat beragama.
b) Teori
Agama
Menurut Durkheim
agama berasal dari masyarakat itu sendiri, dan masyarakat itu sendiri yang
mengintepretasikan tentang Tuhan yang diyakini sesuai dengan idealismenya.
Masyarakat selalu membedakan mengenai hal-hal yang dianggap sakral dan hal-hal
yang dianggap profane atau duniawi.
Agama itu sendiri
berperan penting terhadap karakter masyarakat yang menganutnya, ketika agama
itu dibentuk dengan nilai nilai toleransi maka masyarakat yang menganut agama
itu akan mewariskan nilai nilai keagaamaannya kedalah setiap lini kehidupan
masyarakat tersebut.
c) Konflik
konflik merupakan suatu pertentangan, perbedaan yang
tidak dapat dicegah yang mempunyai potensi yang memberi pengaruh positif dan
negatif. konflik adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, kekuasaan,
di mana tujuan dari mereka yang berkonflik, tidak hanya memperoleh keuntungan,
tetapi juga untuk menundukkan saingannya.[14]
Hubungan antara
Konflik dengan kerukunan hidup beragama adalah perubahan yang terjadi akibat
konflik, yang jadi focus utama bukan karena konflik yang terjadi tetapi nilai
nilai yang telah di sepakati ketika konflik itu berakhir. Seperti kejadiana
pada abad terdahulu yaitu pada saat penaklukan konstanti nopel terjadi konflik
besar besaran antara umat beragama islam dan umat nasrana, tetapi setelah
konflik itu terjadi munculah nilai nilai atau persetujuan yang telah di
sepakati antara umat islam dan masyarakat asli konstanti nopel yang akhirnya
memunculkan karakterristik masyarakat yang rukun dan mematuhi nilai yang
disepakati.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
kerukunan hidup beragama dapat dikatakan sebagai
suatu kondisi social dimana semua golongan agama bisa hidup berdampingan
bersama-sama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan
kewajiban agamanya. Kerukunan hidup beragama juga dapat diartikan dengan
toleransi antar umat beragama. Dalam toleransi masyarakat harus menerima
perbedaan antar umat beragama. Selain itu masyarakat juga harus saling
menghormati satu sama lainnya misalnya dalam hal beribadah, tidak mengganggu
antar pemeluk agama yang satu dengan yang lain.
Teori yang dapat memunculkan perubahan dalam
hidup rukun beragama yaitu Fungsionalisme, Agama, dan Konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Supadie ,Didiek,
2013,Pengantar Studi Islam, Jakarta, PT Rajagrafindo.
Muhammad, Afif, 2013
Agama dan Konflik Sosial, Bandung, Marja.
Soekanta, Soerjono, 1982,
Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta,
CV Rajawali
https://tafsirq.com/6-al-anam/ayat-108
https://tafsirq.com/73-al-muzzammil/ayat-10
https://tafsirq.com/29-al-ankabut/ayat-46
https://tafsirq.com/16-an-nahl/ayat-125
https://tafsirq.com/8-al-anfal/ayat-61
https://tafsirq.com/5-al-maidah/ayat-8
https://tafsirq.com/109-al-kafirun
http://sholihulhady.blogspot.co.id/2012/10/sosiologi-agama_2.html
http://orthevie.wordpress.com/2010/02/13/pengertian-tempat-fungsi-dan-aliran-aliran-serta-metode-penelitian-dalam-sosiologi-agama/
https://www.wattpad.com/134736-sosiologi-teori-fungsionalisme-struktural-asumsi
[1] Dr. H. Didiek Ahmad Supadie, M.M,
Pengantar Studi Islam, PT Rajagrafindo, Jakarta, 2011, Hlm 43
[2] Ibid,Hlm 45
[3] http://orthevie.wordpress.com/2010/02/13/pengertian-tempat-fungsi-dan-aliran-aliran-serta-metode-penelitian-dalam-sosiologi-agama/
[4] http://orthevie.wordpress.com/2010/02/13/pengertian-tempat-fungsi-dan-aliran-aliran-serta-metode-penelitian-dalam-sosiologi-agama/
[5] Prof.
Dr.Afif Muhammad, Agama dan Konflik Sosial, Marja, Bandung 2013, hlm 54
[6] https://tafsirq.com/6-al-anam/ayat-108
[7] https://tafsirq.com/73-al-muzzammil/ayat-10
[8] https://tafsirq.com/29-al-ankabut/ayat-46
[9] https://tafsirq.com/16-an-nahl/ayat-125
[10] https://tafsirq.com/8-al-anfal/ayat-61
[11] https://tafsirq.com/5-al-maidah/ayat-8
[12] https://tafsirq.com/109-al-kafirun
[13] https://www.wattpad.com/134736-sosiologi-teori-fungsionalisme-struktural-asums
[14] Soekanta,
Soerjono, 1982, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, CV Rajawali, hlm 280







Comments
Post a Comment