Sistem Sosial Indosesia
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kadang
sesuatu yang sifatnya sepele bisa menjadi sumber konflik antara manusia. Konflik
dilatar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kemampuan, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, ekonomi, dan lain
sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial,
konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu
masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan
kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri. Sumber konflik itu sangat beragam dan kadang
sifatnya tidak rasional. Oleh karena itu kita tidak bisa menetapkan secara
tegas bahwa yang menjadi sumber konflik adalah sesuatu hal tertentu, apalagi
hanya didasarkan pada hal-hal yang sifatnya rasional.
Oposisi
atau ketidak cocokan potensial adalah adanya kondisi yang menciptakan
kesempatan untuk munculnya konflik. Kondisi ini tidak perlu langsung mengarah
ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu jika konflik itu harus muncul.
Komunikasi yang buruk merupakan alasan utama dari konflik, selain itu
masalah-masalah dalam proses komunikasi berperan dalam menghalangi kolaborasi
dan merangsang kesalah pahaman.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apasaja
teori yang berkaitan dengan konflik ekonomi?
2. Mengapa
ekonomi sebagai sumber perpecahan dalam masyarakat?
3. Apa
saja faktor ekonomi yang menjadi penyebab perpecahan dalam masyarakat?
C.
Tujuan
1. Agar
mengetahui apa saja teori yang berkaitan dengan konflik ekonomi.
2. Supaya
mengetahui penyebab ekonomi sebagai perpecahan dalam masyarakat.
3. Agar
mengetahui apa saja faktor ekonomi yang menjadi penyebab konflik dimasyarakat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Teori-Teori
Sosilogi Perspektif Ekonomi
1.
Thorstein Veblen
Thorstein
Veblen lahir di Wisconsin pedesaan pada 30 Juli 1857. Orang tuanya adalah
petani miskin yang berasal dari Norwegia. Veblen, bukanlah seorang Sosiolog. Dia
kebanyakan memegang posisi di jurusan-jurusan ekonomi dan di bidang itu pun dia
hanyalah seorang tokoh pinggiran. Namun demikian, dia menghasilkan suatu badan
teori sosial yang mempunyai signifikansi yang lestari bagi orang-orang yang
menekuni sejumlah disiplin, termasuk sosiologi. Masalah sentral bagi Veblen
ialah perbenturan antara “bisnis” dan “industri”. Yang dimaksud Veblen dengan
bisnis adalah para pemilik, pemimpin, kapten industri yang berfokus pada
keuntungan-keuntungan perusahaan-perusahaan mereka sendiri, tetapi untuk
mempertahankan harga dan keuntungan yang tinggi, mereka terlibat di dalam
usaha-usaha untuk membatasi produksi. Dengan berbuat demikian mereka
menghalangi pelaksanaan sistem industri dan sebaliknya memengaruhi masyarakat
secara keseluruhan (misalnya, melalui tingkat pengangguran yang lebih tinggi). Masyarakat
secara keseluruhan terlayani paling baik bila pelaksanaan industri tidak
dihalangi. Oleh karena itu, para pemimpin bisnis adalah sumber banyak masalah
di dalam masyarakat. Menurut Veblen, masyarakat seharusnya dipimpin oleh
orang-orang (misalnya insinyur) yang mengerti sistem industri dan
pelaksanaannya dan tertarik pada kesejahteraan umum.[1]
Karyanya
yang berpengaruh adalah The Theory of The Leisure Class. Pendekatan
Veblen dalam teori aksi sosial disandarkan pada kepentingan intelektual dan
kulturalnya yang khas. Manusia dipandang digerakan oleh suatu instinct,
untuk mencapai efisiensi dan digerakan oleh keinginan untuk mengejar dan meraih
prestasi. Bagi Veblen ada dua tipe aksi sosial yaitu:
a)
Predatory
: bersifat memusnahkan atau merusak;
b)
Konstruktif : bersifat membangun.
Dalam
pandangan veblen, sifat manusia dikembangkan oleh keperluan atau kebutuhan. Dalam
pusat pemahaman manusia itu sendiri, ia merupakan pusat aktivitas teologis
(atas dasar suatu tujuan) yang bersifat implusif (spontan atau tidak
terencana). Dalam setiap aksi dia mengejar keberhasilan berbagai tujuan khusus.
Kemudian dengan sifatnya manusia memilih sebuah cita rasa akan kerja yang
efektif dan tidak menyukai usaha yang tidak berguna.[2]
2.
Karl Marx
Bagi
Marx, eksploitasi dan dominasi lebih dari sekedar mencerirminkan distribusi
kekayaan dan kekuasaan yang tidak sama secara kebetulan. Eksploitasi adalah
bagian penting dari ekonomi kapitalis. Semua masyarakat mempunyai eksploitasi,
tetapi apa yang khas di dalam kapitalisme ialah bahwa eksploitasi dituntaskan
oleh sistem yang tidak berpribadi dan objektif. Eksploitasi itu tidak begitu
terlihat sebagai masalah kekuasaan dan lebih banyak masalah grafik dan
perhitungan ekonomi. Selanjutnya, pemaksaan jarang berupa paksaan yang
terang-terangan dan malah berupa kebutuhan pekerja itu sendiri, yang kini dapat
dipenuhi hanya melalui kerja upahan. Menunjukkan ironi, Marx melukiskan
kebebasan kerja upahan itu:
Untuk
menukar uangnya menjadi modal. pemilik uang harus bertemu di pasar dengan buruh
bebas, bebas dalam arti rangkap, bahwa sebagai seorang bebas dia dapat menjual
tenaga kerjanya sebagai komoditas sendiri, dan di sisi lain dia tidak mempunyai
komoditas lain untuk dijual, kekurangan segala sesuatu yang diperlukan untuk
mewujudkan tenaga kerjanya.
Para
pekerja tampak sebagai “buruh bebas”, yang sedang memasuki kontrak yang bebas
dengan kaum kapitalis. Akan tetapi, Marx percaya bahwa para pekerja harus
menerima syarat-syarat yang ditawarkan para kapitalis kepada mereka, karena
para pekerja tidak lagi menghasilkan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Hal
itu khususnya benar karena kapitalisme biasanya menciptakan apa yang diacu Marx
sebagai pasukan cadangan pengangguran. Jika seorang pekerja tidak ingin
melakukan suatu pekerjaan dengan upah yang ditawarkan kapitalis, orang lain
yang ada di dalam pasukan cadangan pengangguran akan bersedia. Hal itulah,
misalnya yang dijumpai oleh Barbara Ehrenreich, yang merupakan tujuan dari
banyak iklan baru, belakangan saya menyadari bahwa iklan lowongan bukanlah
ukuran yang dapat diandalkan mengenai pekerjaan aktual yang tersedia pada
waktu-waktu tertentu. Iklan itu adalah kebijakan jaminan bagi majikan untuk
menghadapi penggantian terus-menerus tenaga kerja upah rendah. Sebagian besar
hotel besar memang memasang iklan lowongan nyaris tanpa henti hanya untuk
menghimpun persediaan pelamar yang akan menggantikan para pekerja yang sudah
ada sekarang bila nanti mereka mengundurkan diri atau dipecat.
Sang
kapitalis membayar para pekerja lebih sedikit dari nilai yang dihasilkan para
pekerja dan menyimpan sisanya untuk dirinya sendiri. Praktik seperti itu
menghasilkan konsep sentral mengenai nilai surplus, yang didefinisikan sebagai
perbedaan antara nilai produk ketika dijual dan nilai unsur-unsur yang yang
dihabiskan dalam pembentukan produk itu (termasuk tenga kerja sang pekerja).
Kaum kapitalis dapat dapat menggunakan keuntungan itu untuk konsumsi pribadi,
tetapi dengan berbuat demikian mereka tidak akan menghasilkan ekspansi
kapitalisme. Sebagai gantinya, kaum kapitalis memperluas perusahaan-perusahaan
mereka dengan mengubah keuntungan menjadi landasan bagi penciptaan nilai
surplus yang lebih banyak lagi.
Harus
ditekankan bahwa nilai surplus bukan hanya konsep ekonomi. Nilai surplus,
seperti modal adalah suatu relasi sosial khusus dan suatu bentuk dominasi,
karena tenaga kerja adalah sumber nyata nilai surplus. Oleh karena itu, tingkat
nilai surplus adalah suatu ungkapan saksama untuk derajat eksploitasi tenaga
kerja oleh modal, atau eksploitasi pekerja oleh sang kapitalis. Pengamatan
demikian mengacu kepada salah satu metafora Marx yang lebih menarik. Modal adalah
tenaga kerja yang mati yang seperti vampir, hidup hanya menghisap tenaga kerja
yang hidup, dan semakin hidup bila semakin banyak tenaga kerja yang dihisapnya.
Di
dalam kapitalisme, analisis Marx menemukan dua kelas utama yaitu borjuis dan
proletariat. Borjuis adalah nama yang diberikan Marx untuk kaum kapitalis di
dalam ekonomi modern. Kaum borjuis memiliki alat-alat produksi dan memperkejakan
tenaga kerja upahan. Konflik di antara kaum borjuis dan kaum ploletariat adalah
contoh lain kontradiksi material yang nyata. Kontradiksi itu bertumbuh dari
kontradiksi yang yang sudah disebutkan sebelumnya, di antara tenaga kerja dan
kapitalisme. Tidak satu pun dari kontradiksi-kontradiksi tersebut yang dapat
dipecahkan selain mengubah struktur kapitalis. Sebenarnya sampai terjadi
perubahan, kontradiksi akan semakin memburuk. Masyarakat akan semakin
terpolarisasi ke dalam kedua kelas besar yang bertentangan itu.[3]
Selain
itu, karena kaum kapitalis telah menyusutkan para pekerja menjadi mesin-mesin
untuk bekerja yang melaksanakan serangkaian operasi sederhana, mekanisasi
menjadi semakin mudah. Sewaktu mekanisasi terus belanjut, semakin banyak orang
yang menganggur dan jatuh dari kaum proletariat menjadi pasukan cadangan
industri. Pada akhirnya, Marx meramalkan situasi masyarakat akan dicirikan oleh
segelintir kaum kapitalis yang mengeksploitasi dan massa kaum proletar yang
sangat banyak dan para anggota pasukan cadangan industri. Dengan pemerosokkan
begitu banyak orang kedalam kondisi seperti itu, kapitalisme menciptakan massa
yang akan menyebabkan penumbangannya. Sentralisasi kerja pabrik yang semakin
bertambah, dan juga penderitaan yang dirasakan bersama, meningkatkan
kemungkinan munculnya perlawanan teroganisir kepada kapitalisme. Selanjutya,
pertautan internasional pabrik-pabrik dan pasar-pasar mendorong para pekerja
semakin sadar atas kepentingan-kepentingan mereka selain dari
kepentingan-kepentingan lokal.Kesadaran itu kemungkinan besar menyebabkan
revolusi.[4]
B.
Kesenjangan
Ekonomi Sebagai Faktor Pemecah belah
Istilah ekonomi berasal
dari bahasa yunani, yaitu oikos namos atau oikonomia. Secara bahasa, oikod
namos atau oikonomia sulit diterjemahkan, tetapi orang-orang berat
menerjemahkannya dengan management of
bousebold or estate (tata lalaksana rumah tangga atau pemilikan)
(sastradipoera, 2001: 4). Pengertian ini ditujukan untuk menggambarkan usaha
manusia untuk memilih dan memanfaatkan sumber daya guna memenuhi kebutuhan
hidupnya. Perbuatan memilih inilah yang menjadi inti ilmu ekonomi (Ace
Partadireja, 1993: 3). Dalam perbuatan memilih ini terdapat sejumlah prinsip
dan pegangan teori ekonomi. Albert L. Meyers mendefinisikan ilmu ekonomi
sebagai ilmu yang mempersoalkan kebutuhan manusia. J. L. Meij mengemukakan
bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu tentang usaha manusia kearah kemakmuran.[5]
Konflik perpecahan dalam
masyarakat yang disebabkan oleh faktor Ekonomi yang berdampak kepada kurangnya
kesejahteraan rakyat, membuat kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintahan. Masyarakat yang tidak puas kemudian memberontak dan akhirnya
terjadi kesenjangan ekonomi, biasa dikenal dengan istilah kesenjangan
pendapatan, kesenjangan kekayaan, dan jurang antara kaya dan miskin, mengacu
pada persebaran ukuran ekonomi di antara individu dalam kelompok, kelompok
dalam populasi, atau antar negara. Para ekonom umumnya mengakui tiga ukuran
kesenjangan ekonomi: kekayaan, pendapatan, dan konsumsi. Persoalan kesenjangan
ekonomi mencakup kesetaraan ekonomi, kesetaraan pengeluaran, dan kesetaraan
kesempatan.
Sejumlah penelitian
menyebut bahwa kesenjangan adalah masalah sosial yang semakin berkembang. Kesenjangan
yang terlalu besar cenderung merugikan karena kesenjangan pendapatan dan
pemusatan kekayaan mampu menghambat pertumbuhan jangka panjang. Penelitian statistik
awal yang membandingkan kesenjangan dengan pertumbuhan ekonomi tidak menghasilkan
kesimpulan apa-apa. Pada tahun 2011, peneliti Dana Moneter Internasional
menunjukkan bahwa kesetaraan pendapatan yang lebih besar—berkurangnya
kesenjangan—meningkatkan durasi pertumbuhan ekonomi sebuah negara dengan lebih
cepat dibandingkan perdagangan bebas, korupsi pemerintah rendah, investasi
asing, atau utang luar negeri rendah.
Kesenjangan ekonomi bervariasi
tergantung masyarakat, waktu, struktur ekonomi, dan sistem. Istilah tersebut
dapat mengacu pada persebaran pendapatan atau kekayaan lintas lapisan
masyarakat pada waktu tertentu, atau pendapatan dan kekayaan seumur hidup dalam
jangka panjang.
C.
Studi
kasus konflik ekonomi Indonesia
Indonesia adalah negara
yang berkembang dalam segi ekonomi maupun dalam segi pemerintahan, baik itu
ekonomi maupun politik pasti akan menimbulkan dampak positif maupun dampak
negatif. Ekonomi adalah salah satu faktor yang bisa menimbulkan konflik didalam
masyarakat terutama masyarakat Indonesia. Berikut beberapa studi kasus konflik
yang terjadi negara Indonesia:
1.
Sengketa
Tanah
Menurut Rachmadi Usman
(sarjita, 2005:8) menyatakan bahwa baik kata confict maupun dispute
kedua-dunya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan di
antara kedua belah pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan, dari segi
kosakata confict sudah diserap ke
dalam bahasa Indonesia menjadi konflik, sedangkan dispute dapat diterjemahkan dengan arti sengketa. Lebih lanjut
ditegaskan, bahwa konflik tidak akan berkembang menjadi sengketa apabila pihak
yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya.
Sebuah konflik akan berkembang menjadi sengketa bilamana pihak yang merasa
dirugikan telah menyatakan tidak puas.
Selain pernyataan
tersebut di atas, dapat pula diartikan bahwa sengketa pertanahan dapat
diklasifikasikan berdasarkan substansi dan pihak-pihak atau pelakunya serta
cara penyelesaiannya. Timbulnya sengketa hukum bermula dari adanya pengaduan
oleh orang atau badan hukum yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak
atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan
harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku.
2.
Skema
Ponzi
Skema Ponzi adalah modus
investasi palsu yang membayarkan keuntungan kepada investor dari uang mereka
sendiri atau uang yang dibayarkan oleh investor berikutnya, bukan dari
keuntungan yang diperoleh oleh individu atau organisasi yang menjalankan
operasi ini. Skema Ponzi biasanya membujuk investor baru dengan menawarkan
keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan investasi lain, dalam jangka pendek
dengan tingkat pengembalian yang terlalu tinggi atau luar biasa konsisten.
Kelangsungan dari pengembalian yang tinggi tersebut membutuhkan aliran yang
terus meningkat dari uang yang didapat dari investor baru untuk menjaga skema
ini terus berjalan.
Skema ini dicetuskan oleh
Charles Ponzi, yang kemudian menjadi terkenal pada tahun 1920. Skema Ponzi
didasarkan dari praktik arbitrasi dari kupon balasan surat internasional yang
memiliki tarif berbeda di masing-masing negara. Keuntungan dari praktik ini
kemudian dipakai untuk membayar kebutuhannya sendiri dan investor sebelumnya.
Ponzi menyatakan bahwa
uang yang diperoleh dari investasinya akan dikirimkan ke agen di luar negeri,
seperti Italia, di mana mereka membeli kupon tersebut. Lalu kupon itu
dikirimkan kembali ke Amerika Serikat dan ditukarkan perangko yang harganya
lebih mahal. Ponzi menyatakan keuntungan bersih setelah mengukur nilai tukar
adalah lebih dari 400%. Namun setelah berhasil memperoleh jutaan dolar Amerika,
kedok dari praktik ini terbongkar. Hal yang tidak dapat dimungkiri karena dalam
keadaan investasi yang dijanjikan, seharusnya ada 160 juta kupon yang
dikeluarkan, namun hanya 27 ribu yang terealisasikan. Setelahnya Charles Ponzi
ditangkap dan dipenjara.
Jika Skema Ponzi tidak
diberhentikan oleh pihak berwenang, Skema ini akan hancur oleh beberapa alasan
:
Promotor menghilang, dan
mengambil sisa uang yang diinvestasikan (di luar uang yang telah dibayarkan
pada investor sebelumnya). Karena Skema ini memerlukan investasi
berkesinambungan untuk membiayai keuntungan yang lebih besar, ketika investasi
ini melamban, skema ini akan mulai runtuh karena promotor kesulitan untuk
membayar keuntungan yang dijanjikan. Krisis likuiditas ini sering menyebabkan
kepanikan seiring dengan semakin banyaknya permintaan kembali uang mereka.
a. Ciri-ciri
Skema Ponzi
Ciri utama penipuan
berkedok investasi adalah tidak dimilikinya dokumen perizinan yang sah dari
regulator (pengawas) terkait seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank
Indonesia, Bappebti - Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM,
dan lain-lainnya.Pada umumnya perusahaan penipu tersebut berbentuk badan usaha
seperti Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi Simpan Pinjam dan hanya memiliki
dokumen Akta Pendirian/Perubahan Perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
Keterangan domisili dari Lurah setempat, dengan legalitas usaha berupa Surat
Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP).
Berdasarkan Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin
Usaha Perdagangan, diatur bahwa Perusahaan dilarang menggunakan SIUP untuk
melakukan kegiatan “menghimpun dana masyarakat dengan menawarkan janji
keuntungan yang tidak wajar (money game)”.
b. Bentuk
Umum Produk Diduga Ilegal yang Ditawarkan:
1) Fixed
income products, dimana produk ini menawarkan imbal hasil (return) yang
dijanjikan secara fixed (tetap) dan tidak akan terpengaruh oleh risiko
pergerakan harga di pasar.
2) Simpanan
yang menyerupai produk perbankan (tabungan atau deposito), dimana pada beberapa
kasus berupa surat Delivery Order (D/O) atau Surat Berharga yang diterbitkan
suatu perusahaan.
3) Penyertaan
modal investasi, dimana dana yang terkumpul dari masyarakat dijanjikan akan
ditempatkan pada lebih dari satu instrumen keuangan atau pada sektor riil.
4) Program
investasi online melalui internet, yang menjanjikan pengembalian dana investasi
secara rutin.
3.
Rendahnya
UMR dan maraknya PHK
Untuk saat ini, upah minimum regional atau UMR di kenal juga
dengan istilah UMP (Upah Minimum Propinsi), karena ruang lingkupnya sebatas
satu propinsi. Setelah otonomi daerah diberlakukan penuh, dikenal juga istilah
Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK).
Pengertian dan tata cara penetapan UMR adalah sebagai
berikut:
Upah Minimum Regional adalah suatu standar minimum yang
digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada
pegawai, karyawan atau buruh di dalam lingkungan usaha atau kerjanya.Pemerintah
mengatur pengupahan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989
tanggal 29 Mei 1989 tentang Upah Minimum. Penetapan upah dilaksanakan setiap
tahun melalui proses yang panjang. Mula-mula Dewan Pengupahan Daerah (DPD) yang
terdiri dari birokrat, akademisi, buruh dan pengusaha mengadakan rapat,
membentuk tim survei dan turun ke lapangan mencari tahu harga sejumlah kebutuhan
yang dibutuhkan oleh pegawai, karyawan dan buruh. Setelah survei di sejumlah
kota dalam propinsi tersebut yang dianggap representatif, diperoleh angka
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dulu disebut Kebutuhan Hidup Minimum (KHM).
Berdasarkan KHL, DPD mengusulkan upah minimum regional (UMR) kepada Gubernur
untuk disahkan. Komponen kebutuhan hidup layak digunakan sebagai dasar
penentuan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup pekerja lajang (belum
menikah).
Namun sering ditemui kasus pembayaran upah yang belum
mengacu pada standar upah minimum, sehingga banyak muncul dalam pemberitaan
cerita-cerita miris dari para pekerja dan tak sedikit yang berujung pada
pemogokan kerja dan demonstrasi. Padahal, sesuai dengan Undang-Undang No. 13
tahun 2003 tentang ketenagakerjaan jelas menyebutkan bahwa pegusaha yang tidak
membayarkan upah sesuai ketentuan UMP dianggap sebagai pelaku kejahatan dengan
ancaman sanksi penjara dari satu hingga empat tahun dan denda minimal Rp100
juta dan maksimal Rp400 juta. Pemogokan kerja dan demonstrasi ini
biasanya menyebabkan terjadinya konflik antara karyawan dengan pemilik
perusahaan. Perusahaan yang tidak mau rugi akhirnya melakukan PHK terhadap
pekerjanya.
Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) adalah berakhirnya hubungan kerja sama antara karyawan
dengan perusahaan, baik karena ketentuan yang telah disepakati, atau mungkin berakhir
di tengah karier. Mendengar istilah PHK, terlintas adalah pemecatan sepihak
oleh pihak perusahaan karena kesalahan pekerja. Oleh sebab itu, selama ini
singkatan ini memiliki arti yang negatif dan menjadi momok menakutkan bagi para
pekerja.
4.
Kegiatan
Impor
Impor
adalah proses pembelian barang atau jasa asing dari suatu negara ke negara
lain. Impor barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea cukai
di negara pengirim maupun penerima. Impor adalah bagian penting dari
perdagangan internasional. Jika perusahaan menjual produknya secara lokal,
mereka dapat manfaat karena harga lebih murah dan kualitas lebih tinggi
dibandingkan pasokan dari dalam negeri. Impor juga sangat dipengaruhi 2 faktor
yakni, pajak dan kuota. Tingkat impor dipengaruhi oleh hambatan peraturan
perdagangan. Pemerintah mengenakan tarif (pajak) pada produk impor. Pajak itu
biasanya dibayar langsung oleh importir, yang kemudian akan membebankan kepada
konsumen berupa harga lebih tinggi dari produknya. Demikianlah sebuah produk
mungkin berharga terlalu tinggi dibandingkan produk yang berasal dari dalam
negeri. Ketika pemerintah asing menerapkan tarif, kemampuan perusahaan asing
untuk bersaing di Negara-negara itu dibatasi. Pemerintah juga dapat menerapkan
kuota pada produk impor, yang membatasi jumlah produk yang dapat dimpor. Jenis
hambatan perdagangan seperti ini bahkan lebih membatasi dibandingkan tarif,
karena secara eskpilit menetapkan batas jumlah yang dapat dimpor. Sedangkan
impor juga mempunyai dampak negatif yang menyebabkan konflik dan kesenjangan
dalam masyarakat. Dampak negatif itu diantaranya: Menciptakan persaingan bagi
industri dalam negeri, menambah tingkat pengangguran masyarakat, dan konsumsi
berlebihan masyarakat.
5.
Pencabutan
Subsidi
Subsidi (juga
disebut subvensi) adalah bentuk
bantuan keuangan yang dibayarkan kepada suatu bisnis atau sektor ekonomi.
Sebagian subsidi diberikan oleh pemerintah kepada produsen atau distributor
dalam suatu industri
untuk mencegah kejatuhan industri tersebut (misalnya karena operasi merugikan
yang terus dijalankan) atau peningkatan harga produknya atau hanya untuk
mendorongnya mempekerjakan lebih banyak buruh
(seperti dalam subsidi upah).
Contohnya adalah subsidi untuk mendorong penjualan ekspor;
subsidi di beberapa bahan pangan
untuk mempertahankan biaya hidup, khususnya di wilayah
perkotaan; dan subsidi untuk mendorong perluasan
produksi pertanian
dan mencapai swasembada produksi pangan.
Subsidi dapat dianggap sebagai suatu bentuk proteksionisme atau penghalang perdagangan
dengan memproduksi barang dan jasa domestik yang kompetitif terhadap barang dan
jasa impor.Subsidi dapat mengganggu pasar dan memakan biaya ekonomi yang
besar.Bantuan keuangan dalam bentuk subsidi bisa datang dari suatu
pemerintahan, namun istilah subsidi juga bisa mengarah pada bantuan yang
diberikan oleh pihak lain, seperti perorangan atau lembaga non-pemerintah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Konflik perpecahan dalam
masyarakat yang disebabkan oleh faktor Ekonomi yang berdampak kepada kurangnya
kesejahteraan rakyat, membuat kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintahan. Masyarakat yang tidak puas kemudian memberontak dan akhirnya
terjadi kesenjangan ekonomi, biasa dikenal dengan istilah kesenjangan
pendapatan, kesenjangan kekayaan, dan jurang antara kaya dan miskin, mengacu
pada persebaran ukuran ekonomi di antara individu dalam kelompok, kelompok
dalam populasi, atau antar negara. Para ekonom umumnya mengakui tiga ukuran
kesenjangan ekonomi: kekayaan, pendapatan, dan konsumsi. Persoalan kesenjangan
ekonomi mencakup kesetaraan ekonomi, kesetaraan pengeluaran, dan kesetaraan
kesempatan.
Indonesia adalah negara
yang berkembang dalam segi ekonomi maupun dalam segi pemerintahan, baik itu
ekonomi maupun politik pasti akan menimbulkan dampak positif maupun dampak
negatif. Ekonomi adalah salah satu faktor yang bisa menimbulkan konflik didalam
masyarakat terutama masyarakat Indonesia.
B.
Kritik
dan Saran
Dalam
pembuatan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang
terdapat didalamnya. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya masukan, saran,
dan kritik terhadap makalah ini agar bisa lebih baik lagi dalam pembuatan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan
untuk pembaca maupun kelompok kami dan menjadi referensi untuk bahan
pembelajaran.
Daftar
Pustaka
George
Ritzer. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Pekermbangan
Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Supardi.
2011. Dasar-dasar Ilmu Sosial.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Wardi
Bachtiar. 2006. Sosiologi Klasik. Bandung: Remaja Rosda Karya.
[1]
George Ritzer, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Pekermbangan
Terakhir Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 331-333.
[2]
Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006),
hlm. 284.
[4]
Ibid.
[5]Supardi.
2011.
Comments
Post a Comment